Kesesatan Dalam Berpikir (Logika Fallacy) Penulis: Zaki Az Zahwa N dan Hidayatin Hasanah

 

Pemaknaan dan Pemahaman tentang Kesesatan dalam Berpikir

Kata Fallacy dalam bahasa inggris memiliki arti kesesatan dalam penalaran. Sebagaimana, para tokoh filsuf pada zaman kuno membantah tokoh filsuf lainnya dengan menunjukkan kesesatan penalarannya. Kesesatan dalam berfikir adalah sebuah proses penalaran yang tidak logis serta menyesatkan, hal ini dapat terjadi dikarenakan ketidaksesuaian antara prinsip-prinsip logika dengan relevansinya.[1] Adapun, pendapat dari Jhon Loke yang mengklasifikasikan kesesatan dalam berpikir dibagi menjadi 3 yakni, kesesatan yang terjadi karena subjek jarang berfikir dengan sendirinya atau bertindak dengan apa yang difikirkan atau dilakukan oleh orang lain, kemudian kesesatan dimana subjek seolah-olah menghargai rasio akan tetapi dalam kenyataannya tidak menggunakan rasio dengan baik, dan yang terakhir adalah kesesatan yang diakibatkan oleh persoalan komprehensif yakni terpaku hanya pada pendekatan atau pendapat tertentu.[2]

Permasalahan mengenai argumentasi hukum salah satunya adalah kesesatan. Kesesatan atau fallacy terjadi karena hal yang dirasa tidak masuk akal. Apabila seseorang tidak sadar bahwa penalaran yang ia lakukan adalah sesat, maka penalaran tersebut dinamakan paralogis. Sementara jika penalaran sesat tersebut digunakan secara sengaja untuk menyesatkan orang lain maka disebut sofisme.[3] Tidak adanya hubungan yang logis antara premis dan konklusi menyebabkan mengakibatkan sesatnya sebuah penalaran. Kesesatan seperti itu disebut sebagai kesesatan relevansi.

Model Kesesatan dalam Berpikir

Ada beberapa jenis kesesatan dalam berpikir dan/atau penalaran sebagai sebuah kesesatan penalaran hukum (khususnya), artinya penalaran keliru tersebut jika diterapkan dalam bidang hukum bukan merupakan sebuah kesalahan. Berikut, penulis sampaikan beberapa model kesesatan berpikir dan/ atau penalaran:

1.      Argumentum ad Ignorantium

 Kesesatan ini terjadi ketika suatu argumentasi seseorang mengenai suatu proposisi atau pernyataan dianggap benar. Hal ini terjadi karena suatu proposisi tersebut tidak dapat dibuktikan kesalahannya, begitupun ketika suatu proposisi atau pernyataan dianggap salah, karena tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Kesesatan ini muncul disebabkan oleh adanya penyimpangan konklusi atas dasar bahwa negasinya tidak terbukti salah atau penyimpulan suatu konklusi yang dianggap salah karena negasinya tidak terbukti benar. Contoh Argumentum ad Ignorantium:

a.       Suatu pernyataan bahwa “saya pasti betul, karena tidak ada yang pernah membuktikan salah”. Argumentasi Hukum

b.      Tuduhan konspirasi Covid-19 tidak bisa diterima sepanjang tidak ada bukti-bukti yang menunjukkan tuduhan tersebut. Dua pernyataan di atas, merupakan kesesatan berpikir, karena belum tentu ketika seseorang tidak mengetahui keberadaan adanya sesuatu, bukan berarti sesuatu itu benar-benar tidak ada. Sehingga ketika seseorang tidak bisa membuktikan suatu hal dengan indera yang dimilikinya, kemudian menganggap hal tersebut tidak ada, maka ia telah melakukan kesesatan berpikir.

Kesesatan Argumentum ad Ignorantium, terkadang tidak dianggap sesat termasuk salah satunya di bidang hukum. Untuk bidang hukum perdata, dalam pasal 1865 BW, penggugat harus membuktikan kebenaran dalilnya, sehingga apabila dia tidak dapat mengemukakan bukti yang cukup kuat, maka gugatan dapat ditolak dengan alasan bahwa si penggugat tidak dapat membuktikan kebenaran akan dalil gugatannya. Namun, dalam kondisi lain mungkin saja beban pembuktian dialihkan kepada tergugat, salah satunya seperti dalam UU Perlindungan Konsumen.

 Penegak hukum menerima suatu kebenaran atau keyakinan ketika pihak yang berperkara mampu membuktikan dalil-dalilnya melalui bukti yang diberikan dalam pembuktian. Kebenaran yang diterima hakim adalah berdasarkan pembuktian yang dilakukan oleh para penggugat dan/atau tergugat. Sehingga dalam praktik hukum khususnya perkara acara perdata, jenis kesesatan ini justru lazim digunakan oleh praktisi hukum termasuk hakim, ketika hakim memutuskan suatu perkara, dia hanya akan melihat atas apa yang dibuktikan sepanjang persidangan, terhadap keterangan saksi dan alat bukti yang dapat diyakini kebenarannya. Oleh karena itu, kita memahami bahwa suatu dalil dianggap benar, apabila dalil tersebut dapat dibuktikan melalui pembuktian, terlebih lagi dalil yang saling dipertentangkan oleh pihak yang berperkara, maka pihak yang mampu membuktikan dalilnya adalah pihak yang dianggap benar dan akan dimenangkan perkaranya.

2.      Argumentum ad Hominem

Menolak atau menerima sebuah argumentasi atau usul bukan karena penalaran yang disampaikan, akan tetapi karena keadaannya orangnya. Argumen ini diarahkan untuk menyerang manusianya, misalkan menolak pendapat si A, karena orangnya kecil, negro atau beragama tertentu. Contoh Argumentum ad Hominem:

a.       Seorang juri lomba pencarian bakat menyanyi, memilih kandidat yang cantic sebagai pemenangnya, bukan karena suaranya yang bagus, melainkan karena parasnya yang lebih cantik dibandingkan dengan kandidat lainnya, walaupun suara kandidat lain ada yang lebih bagus.

b.      Pembicara G mengatakan bahwa “saya tidak setuju dengan apa yang Pembicara S katakan, karena ia bukan orang Islam.” Contoh di atas menegaskan bahwa Argumentum ad Hominem, lebih mengacu pada keadaan seseorang dan lebih menyerang manusianya. Ukuran logika (pembenaran) pada sesat pikir Argumentum ad Hominem pada contoh pertama adalah kondisi pribadi dan karakteristik personal yang melibatkan: gender, fisik, sifat dan prikologi.

Sedangkan, pada contoh kedua menitikberatkan pada perhubungan antara keyakinan seseorang dan lingkungan hidupnya. Dalam bidang hukum, argumentasi demikian bukanlah suatu kesesatan apabila digunakan untuk mendiskreditkan seorang saksi yang pada dasarnya tidak mengetahui secara pasti akan kejadian yang sebenarnya. Hal ini dilakukan jelas karena alasan bahwa keterangan yang dapat diterima dari seorang saksi adalah keterangan yang berdasarkan kejadian yang dia lihat, dengar dan rasakan secara langsung serta kemampuan bertanggungjawab atau dewasanya seorang saksi juga berpengaruh terhadap diyakini atau tidaknya kesaksian yang diberikan

3.      Argumentum ad Verecundiam

Menolak atau tidak menerima sebuah argumentasi bukan karena nilai penalarannya, akan tetapi karena orang yang mengemukakan adalah orang yang ahli, berkuasa, berwibawa dan dapat dipercaya. Hal ini sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Argumentasi ini bisa dikatakan mirip dengan Argumentasi ad Hominem. Perbedaannya terletak pada acuan dalam argumentasi, apabila Argumentum ad Hominem yang menjadi acuan adalah pribadi orang yang menyampaikan gagasan dilihat dari disenangi atau tidak disenangi), sedangkan dalam Argumentasi ad Verecundiam ini dilihat dari siapa (posisinya dalam masyarakat atau keahliannya atau kewibawaannya) yang mengemukakan.

Contoh dari Argumentum ad Verecundiam: Pidato seorang Kepala Desa, langsung diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat desa tanpa memahami dan menilai akan isi pidato tersebut. Kemudian, seorang warga masyarakat mengatakan “saya yakin apa yang di katakan beliau adalah benar, karena beliau adalah seorang pemimpin yang disegani dan tokoh masyarakat yang di hormati.”

Hal tersebut jelas dilakukan semata-mata karena yang menyampaikan pidato adalah seorang Kepala Desa yang diterima akan kewibawaan dan kekuasaan yang dimilikinya. Dari contoh tersebut, ditegaskan bahwa kalimat tersebut didasarkan pada kebesaran nama, kewibawaan dan kekuasaan yang mengajukan argumentasi.

4.      Argumentum ad Misericordiam

Suatu argumentasi yang bertujuan menimbulkan belas kasihan. Misericordiam berasal dari Bahasa latin. Misericordia artinya belas kasihan. Sehingga argumen ini sesat disebabkan oleh adanya menuntut belas kasihan.

Contoh Argumentum ad Misericordiam:

a.       Terdakwa yang meminta kepada hakim agar dibebaskan dari semua tuduhan karena dia punya tanggungan keluarga.

b.      Pencuri motor yang menyampaikan di muka persidangan bahwa ia miskin dan tidak bisa membeli makan untuk anak istrinya sementara ia baru saja dipecat.

Perlu diketahui pula, dalam bidang hukum, argumentasi semacam ini lazim digunakan misalnya dalam Nota Pembelaan (Pledoi) seorang terdakwa sebagaimana penulis contohkan di atas. Penggunaan argumentasi demikian termasuk sebagai kesesatan karena tidak menggunakan prinsip logika. Dalam logika kita mengenali hubungan kausalitas, bahwa suatu akibat adalah konsekuensi dari suatu sebab. Seorang yang melakukan kesalahan atau tindak pidana harus dihukum menurut ketentuan logika kausalitas. Argumentasi yang condong kepada upaya untuk mengedepankan subjektifitas merupakan kesesatan berpikir (dalam konteks kebenaran logis). Manusia memiliki akal dan hati sebagai dua ‘pondasi hidup’. Keduanya memiliki kecenderungan kegunaan yang berbeda. Akal dalam hal ini menuntun pada logika berpikir (rasionalitas), sementara hati menuntun tentang nilai yang dapat dirasakan oleh manusia (perasaan, empati, simpati, dan sebagainya).

Sehingga ketika terdapat penyimpangan dimana seharusnya praktisi hukum melandaskan proses berpikir dengan logika, namun justru fokus kepada wilayah rasa maka objektivitas dan kebenaran suatu hal akan semakin bias dan jauh dari kebenaran logika. Karena kebenaran logika hanya akan diperoleh ketika konklusi berangkat dari proses yang berdasarkan data, fakta, dan proposisi hukum yang valid, baik berupa penalaran deduktif (misalnya silogisme), ataupun dengan penalaran induktif (misalnya kausalitas).

5.      Argumentum ad Baculum

Menerima atau menolak suatu argumentasi hanya karena suatu ancaman. Argumen ancaman dilakukan tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mendesak orang untuk menerima suatu konklusi tertentu dengan alasan jika menolak, maka akan membawa akibat yang tidak diinginkan. Sikap yang wajar, bahwa ketika seseorang dihadapkan pada kondisi mendesak dan menakutkan, maka ia mau tidak mau akan memilih opsi yang dapat menyelamatkannya dari kondisi tersebut.

Contoh Argumentum ad Bacalum:

a.       Seorang mahasiswa yang belajar bukan karena ingin pintar, tapi karena mahasiswa itu takut mendapatkan nilai jelek.

b.      Pengendara sepeda motor tersebut akan berhenti di lampu merah, apabila tidak berhenti di lampu merah, akan ditilang oleh polisi lalu lintas.

c.       Seorang majikan mengancam akan memecat bawahannya kalau tidak menaati perintahnya.

Dari contoh di atas dapat diketahui, bahwa terkadang seseorang melakukan suatu hal bukan karena “tujuan” dari hal tersebut diciptakan, namun untuk tujuan lain yang dirasakan adalah suatu ancaman. Semisal, pada contoh kedua: seorang pengendara motor berhenti di lampu merah karena takut ditilang oleh polisi lalu lintas. Seharusnya, ia berhenti di lampu merah karena sadar itu untuk keselamatan diri sendiri di jalan raya. Ini adalah kesesatan penalaran.

6.      Argumentum ad Populum

Argumentasi ini sesat disebabkan oleh adanya tujuan menggugah emosi massa. Pembuktian sesuatu secara logis tidaklah diperlukan. Dalam argumen ini, yang diutamakan hanyalah suatu argumen yang disampaikan dapat menggugah perasaan massa sehingga emosinya terbakar dan akhirnya akan menerima sesuatu konklusi tertentu. Contoh Argumentum ad Populum: Pidato politik yang sengaja membakar emosi massa, tanpa menghiraukan kelogisan penalarannya. Dari contoh di atas, dapat penulis katakan bahwa tidak jarang para aktivis mahasiswa melakukan kesesatan ini, ketika ia melandaskan suatu argument atau orasi hanya kepada tatanan dialektika semata tanpa mendasarkan pada logika. Karena tujuannya hanyalah menggugah emosi massa, sehingga cenderung bersifat emosional.

Setiap argumentasi yang dibangun secara emosional, maka akan berpotensi menyimpangi logika berpikir. Hal tersebut terjadi karena, ketika kita emosi maka yang menguasai kita adalah amarah, ketika amarah menguasai maka yang mengambil alih kendali apa yang kita kerjakan masih dalam proses menyusun suatu keputusan (terburuburu), sehingga ketika terburu-buru maka kita tidak bisa berpikir dan mengambil tindakan yang seharusnya bisa lebih baik secara rasional. Oleh karena itu, lahirlah suatu pepatah “amarah itu tak pernah tanpa alasan, tetapi jarang yang alasannya benar.”

7.      Petitio Principi

Kesesatan yang terjadi dalam mengambil kesimpulan atau pernyataan pembenaran dimana di dalamnya premis dipakai sebagai kesimpulan dan sebaliknya, kesimpulan dijadikan premis. Sehingga meskipun rumusan (teks/kalimat) yang digunakan sangat berbeda, sebenarnya maknanya sama. Jenis kesesatan ini juga dikenal karena pernyataan berupa pengulangan prinsip dengan prinsip. Contoh Petitio Prinsipi: Pimpinan : “Anda tahu kantor masuknya jam 8, kenapa baru masuk jam 9?” Pegawai : “Ya karena saya telat, pak.”

 Dari contoh di atas, apakah pertanyaan pimpinan terjawab? Tentu tidak, hal tersebut terjadi karena sebenarnya pegawai hanya mengulang maksud dari perkataan pimpinan dengan kalimat atau kata yang berbeda, padahal maknanya sama. Hal demikian sering kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Hal mana dikategorikan sebagai kesesatan penalaran yang disebut Petitio Principi.

8.      Kesesatan Ignorantio Elenchi

Kesesatan yang terjadi saat seseorang menarik kesimpulan yang sebenarnya tidak memiliki relevansi dengan premisnya. Loncatan dari premis ke kesimpulan semacam ini umum dilatarbelakangi prasangka, emosi dan perasaan subyektif.

Contoh Kesesatan Ignorantio Elenchi: Seorang wanita terlihat di lokalisasi pasti pelacur. Padahal faktanya, ia hanyalah pedagang nasi bungkus. Kesesatan ini pun sering terjadi di sekitar kita. Tidak sedikit orang yang langsung menarik kesimpulan terhadap apa yang ia lihat, dengar dan rasakan, tanpa melakukan pengecekan keadaan yang sebenarnya. Oleh karena itu, dalam bidang hukum, seorang hakim tidak bisa langsung mengatakan bahwa suatu perbuatan itu melanggar hukum hanya karena mendengarkan keterangan dari seorang terdakwa tanpa melihat bukti, keterangan saksi-saksi, serta kebenaran yang lainnya.

9.      Kesesatan Non Causa Pro Causa

Kesesatan ini muncul jika seseorang menganggap sesuatu sebagai sebab, padahal sebenarnya bukan sebab atau bukan sebab yang lengkap. Orang selalu cenderung berkesimpulan bahwa peristiwa pertama merupakan penyebab bagi peristiwa kedua, atau peristiwa kedua adalah akibat dari peristiwa pertama. Padahal urutan waktu saja tidak dengan sendirinya menunjukkan hubungan sebab-akibat. Kesesatan ini dikenal pula dengan nama kesesatan “post-hoc ergo propter hoc” (sesudah maka karenanya).

Contoh Non Causa Pro Causa: Seorang pemuda diketahui baru putus dengan pacarnya, esoknya sakit. Tetangganya menyimpulkan bahwa pemuda tersebut sakit karena baru putus cinta. Padahal diagnosis dokter adalah si pemuda terkena radang paru-paru karena kebiasaannya merokok tanpa henti sejak sepuluh tahun yang lalu.

Dari contoh di atas, kita dapat belajar bahwa tidak sulit sebenarnya membuktikan kesalahan ini. Kita hanya perlu menunjukkan bahwa hubungan “setelah” tidak sama dengan ”karena”. Hanya saja, banyak orang yang terjebak berpikir menggampangkan seperti ini. Oleh karena itu kita lagi-lagi harus berhati-hati dalam menyimpulkan suatu fenomena. Dalam realitas kehidupan sosial, manusia sering terjebak dalam kesesatan berpikir seperti ini, terlebih dalam kehidupan bersosial media saat ini. Warganet sering melakukan kesesatan Non Causa Pro Causa dengan menghubung-hubungkan postingan status dari seorang selebritas, yaitu mengaitkan postingan satu dengan postingan berikutnya, sehingga menghasilkan persepsi-persepsi yang liar.

10.  Kesesatan Aksidensi

Kesesatan yang terjadi jika seseorang menerapkan prinsip umum kepada peristiwa-peristiwa yang bersifat aksidental (sewaktu-waktu). Ketika seseorang memaksakan aturan-aturan atau cara-cara yang bersifat umum pada suatu keadaan atau situasi yang bersifat aksidental, yaitu situasi yang bersifat kebetulan, tidak seharusnya ada atau tidak mutlak, maka orang itu telah melakukan kesesatan aksidensi. Sehingga apabila sautu penalaran sesat secara aksidensi maka yang terjadi adalah penerapan penalaran tersebut tidak cocok atau bahkan salah.

Contoh Kesesatan Aksidensi:

a.       Gula baik karena gula adalah sumber energi, maka gula juga baik untuk penderita diabetes.

b.      Orang yang makan banyak daging akan menjadi kuat dan sehat, karena itu vegetarian juga seharusnya makan banyak daging supaya sehat.

11.  Kesesatan Karena Komposisi Dan Divisi

Kesesatan karena komposisi terjadi bila seseorang berpijak pada anggapan bahwa apa yang benar (berlaku) bagi individu atau beberapa individu dari suatu kelompok tertentu, pasti juga benar (berlaku) bagi seluruh kelompok secara kolektif. Sehingga, apabila kita meyimpulkan bahwa suatu pernyataan itu berlaku juga untuk kelompok kolektif secara keseluruhan, maka penalaran kita sesat karena komposisi

Sedangkan, ketika kita menyimpulkan suatu pernyataan berlaku untuk kelompok kolektif juga berlaku untuk setiap anggota dari kelompok kolektif tersebut, maka kita sesat karena divisi.

Contoh Kesesatan Karena Komposisi Dan Divisi:

a.       Si A anggota KPU sekaligus dosen di Universitas X melakukan korupsi, maka seluruh anggota KPU yang juga dosen di Universitas X pasti koruptor.

b.       Banyak anggota dewan yang melakukan korupsi. Si C adalah anggota DPR, maka si C juga korupsi. Dari dua contoh di atas, diketahui bahwa contoh pertama adalah kesesatan karena komposisi, sedangkan contoh kedua adalah kesesatan karena divisi.

12.  Kesesatan Karena Pertanyaan yang Kompleks

Kesesatan ini bersumber pada pertanyaan yang sering kali disusun sedemikian rupa sehingga sepintas tampak sebagai pertanyaan yang sederhana, namun sebetulnya bersifat kompleks. Biasanya kesesatan ini terjadi karena adanya kondisi-kondisi yang menekan lawan bicara, sehingga seringkali jawabannya yang diberikan tidak bisa dijawab dengan sederhana.

Kesesatan ini bersumber pada pertanyaan atau perintah yang bukan merupakan pertanyaan yang tunggal. Oleh karena itu pertanyaan tersebut sulit untuk dijawab dengan sekedar mengatakan ya atau tidak. Contoh Kesesatan Karena Pertanyaan yang Kompleks: “Apakah kamu mengambil majalahku?” Pertanyaan tersebut sulit dijawab hanya dengan ya dan tidak, apalagi bila yang ditanya merasa tidak pernah mengambilnya. Kesesatan ini sering dilakukan dalam bidang hukum berupa pertanyaan-pertanyaan yang sering diajukan oleh penyidik kepada calon tersangka atau saksi. Hal ini dilakukan karena mengajukan pertanyaan kompleks adalah salah satu cara untuk mendapatkan jawaban terhadap suatu permasalahan secara jelas dan detail.



[1] Ainur Rahman Hidayat, Filsafat Berfikir (Pamekasan: Duta Media Publishing, 2018), 130.

[2] Muhammad Adib, Filsafat Kristen: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dan Logika Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 178–179.

[3] Faisal Muttaqin, “‘Argumentasi Hukum Perspektif Ilmu Hukum dan Hukum Islam,’” Jurnal Madania Vol. 2 No. 2 (2012): 150.

Posting Komentar

0 Komentar