Pemaknaan dan Pemahaman
tentang Kesesatan dalam Berpikir
Kata Fallacy dalam bahasa
inggris memiliki arti kesesatan dalam penalaran. Sebagaimana, para tokoh filsuf
pada zaman kuno membantah tokoh filsuf lainnya dengan menunjukkan kesesatan
penalarannya. Kesesatan dalam berfikir adalah sebuah proses penalaran yang
tidak logis serta menyesatkan, hal ini dapat terjadi dikarenakan
ketidaksesuaian antara prinsip-prinsip logika dengan relevansinya.[1]
Adapun, pendapat dari Jhon Loke yang mengklasifikasikan kesesatan dalam
berpikir dibagi menjadi 3 yakni, kesesatan yang terjadi
karena subjek jarang berfikir dengan sendirinya atau bertindak dengan apa yang
difikirkan atau dilakukan oleh orang lain, kemudian kesesatan dimana subjek
seolah-olah menghargai rasio akan tetapi dalam kenyataannya tidak menggunakan
rasio dengan baik, dan yang terakhir adalah kesesatan yang diakibatkan oleh
persoalan komprehensif yakni terpaku hanya pada pendekatan atau pendapat
tertentu.[2]
Permasalahan mengenai argumentasi hukum
salah satunya adalah kesesatan. Kesesatan atau fallacy terjadi karena
hal yang dirasa tidak masuk akal. Apabila seseorang tidak sadar bahwa penalaran
yang ia lakukan adalah sesat, maka penalaran tersebut dinamakan paralogis.
Sementara jika penalaran sesat tersebut digunakan secara sengaja untuk
menyesatkan orang lain maka disebut sofisme.[3] Tidak adanya hubungan yang
logis antara premis dan konklusi menyebabkan mengakibatkan sesatnya sebuah
penalaran. Kesesatan seperti itu disebut sebagai kesesatan relevansi.
Model Kesesatan
dalam Berpikir
Ada beberapa jenis kesesatan dalam berpikir dan/atau
penalaran sebagai sebuah kesesatan penalaran hukum (khususnya), artinya
penalaran keliru tersebut jika diterapkan dalam bidang hukum bukan merupakan
sebuah kesalahan. Berikut, penulis sampaikan beberapa model
kesesatan berpikir dan/ atau penalaran:
1. Argumentum
ad Ignorantium
Kesesatan ini terjadi ketika suatu argumentasi
seseorang mengenai suatu proposisi atau pernyataan dianggap benar. Hal ini
terjadi karena suatu proposisi tersebut tidak dapat dibuktikan kesalahannya,
begitupun ketika suatu proposisi atau pernyataan dianggap salah, karena tidak
dapat dibuktikan kebenarannya. Kesesatan ini muncul disebabkan oleh adanya
penyimpangan konklusi atas dasar bahwa negasinya tidak terbukti salah atau
penyimpulan suatu konklusi yang dianggap salah karena negasinya tidak terbukti
benar. Contoh Argumentum ad Ignorantium:
a. Suatu
pernyataan bahwa “saya pasti betul, karena tidak ada yang pernah membuktikan
salah”. Argumentasi Hukum
b. Tuduhan
konspirasi Covid-19 tidak bisa diterima sepanjang tidak ada bukti-bukti yang
menunjukkan tuduhan tersebut. Dua pernyataan di atas, merupakan kesesatan
berpikir, karena belum tentu ketika seseorang tidak mengetahui keberadaan
adanya sesuatu, bukan berarti sesuatu itu benar-benar tidak ada. Sehingga
ketika seseorang tidak bisa membuktikan suatu hal dengan indera yang
dimilikinya, kemudian menganggap hal tersebut tidak ada, maka ia telah
melakukan kesesatan berpikir.
Kesesatan Argumentum ad Ignorantium,
terkadang tidak dianggap sesat termasuk salah satunya di bidang hukum. Untuk
bidang hukum perdata, dalam pasal 1865 BW, penggugat harus membuktikan
kebenaran dalilnya, sehingga apabila dia tidak dapat mengemukakan bukti yang
cukup kuat, maka gugatan dapat ditolak dengan alasan bahwa si penggugat tidak
dapat membuktikan kebenaran akan dalil gugatannya. Namun, dalam kondisi lain
mungkin saja beban pembuktian dialihkan kepada tergugat, salah satunya seperti
dalam UU Perlindungan Konsumen.
Penegak hukum menerima suatu kebenaran atau
keyakinan ketika pihak yang berperkara mampu membuktikan dalil-dalilnya melalui
bukti yang diberikan dalam pembuktian. Kebenaran yang diterima hakim adalah
berdasarkan pembuktian yang dilakukan oleh para penggugat dan/atau tergugat.
Sehingga dalam praktik hukum khususnya perkara acara perdata, jenis kesesatan
ini justru lazim digunakan oleh praktisi hukum termasuk hakim, ketika hakim
memutuskan suatu perkara, dia hanya akan melihat atas apa yang dibuktikan
sepanjang persidangan, terhadap keterangan saksi dan alat bukti yang dapat
diyakini kebenarannya. Oleh karena itu, kita memahami bahwa suatu dalil
dianggap benar, apabila dalil tersebut dapat dibuktikan melalui pembuktian,
terlebih lagi dalil yang saling dipertentangkan oleh pihak yang berperkara,
maka pihak yang mampu membuktikan dalilnya adalah pihak yang dianggap benar dan
akan dimenangkan perkaranya.
2. Argumentum
ad Hominem
Menolak atau menerima sebuah argumentasi
atau usul bukan karena penalaran yang disampaikan, akan tetapi karena
keadaannya orangnya. Argumen ini diarahkan untuk menyerang manusianya, misalkan
menolak pendapat si A, karena orangnya kecil, negro atau beragama tertentu. Contoh
Argumentum ad Hominem:
a. Seorang
juri lomba pencarian bakat menyanyi, memilih kandidat yang cantic sebagai
pemenangnya, bukan karena suaranya yang bagus, melainkan karena parasnya yang
lebih cantik dibandingkan dengan kandidat lainnya, walaupun suara kandidat lain
ada yang lebih bagus.
b. Pembicara
G mengatakan bahwa “saya tidak setuju dengan apa yang Pembicara S katakan,
karena ia bukan orang Islam.” Contoh di atas menegaskan bahwa Argumentum ad
Hominem, lebih mengacu pada keadaan seseorang dan lebih menyerang manusianya.
Ukuran logika (pembenaran) pada sesat pikir Argumentum ad Hominem pada contoh
pertama adalah kondisi pribadi dan karakteristik personal yang melibatkan:
gender, fisik, sifat dan prikologi.
Sedangkan, pada contoh kedua
menitikberatkan pada perhubungan antara keyakinan seseorang dan lingkungan
hidupnya. Dalam bidang hukum, argumentasi demikian bukanlah suatu kesesatan
apabila digunakan untuk mendiskreditkan seorang saksi yang pada dasarnya tidak
mengetahui secara pasti akan kejadian yang sebenarnya. Hal ini dilakukan jelas
karena alasan bahwa keterangan yang dapat diterima dari seorang saksi adalah
keterangan yang berdasarkan kejadian yang dia lihat, dengar dan rasakan secara
langsung serta kemampuan bertanggungjawab atau dewasanya seorang saksi juga
berpengaruh terhadap diyakini atau tidaknya kesaksian yang diberikan
3. Argumentum
ad Verecundiam
Menolak atau tidak menerima sebuah
argumentasi bukan karena nilai penalarannya, akan tetapi karena orang yang
mengemukakan adalah orang yang ahli, berkuasa, berwibawa dan dapat dipercaya.
Hal ini sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Argumentasi ini bisa
dikatakan mirip dengan Argumentasi ad Hominem. Perbedaannya terletak pada acuan
dalam argumentasi, apabila Argumentum ad Hominem yang menjadi acuan adalah
pribadi orang yang menyampaikan gagasan dilihat dari disenangi atau tidak
disenangi), sedangkan dalam Argumentasi ad Verecundiam ini dilihat dari siapa
(posisinya dalam masyarakat atau keahliannya atau kewibawaannya) yang
mengemukakan.
Contoh dari Argumentum ad Verecundiam:
Pidato seorang Kepala Desa, langsung diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat
desa tanpa memahami dan menilai akan isi pidato tersebut. Kemudian, seorang
warga masyarakat mengatakan “saya yakin apa yang di katakan beliau adalah
benar, karena beliau adalah seorang pemimpin yang disegani dan tokoh masyarakat
yang di hormati.”
Hal tersebut jelas dilakukan semata-mata
karena yang menyampaikan pidato adalah seorang Kepala Desa yang diterima akan
kewibawaan dan kekuasaan yang dimilikinya. Dari contoh tersebut, ditegaskan
bahwa kalimat tersebut didasarkan pada kebesaran nama, kewibawaan dan kekuasaan
yang mengajukan argumentasi.
4. Argumentum
ad Misericordiam
Suatu argumentasi yang bertujuan
menimbulkan belas kasihan. Misericordiam berasal dari Bahasa latin.
Misericordia artinya belas kasihan. Sehingga argumen ini sesat disebabkan oleh
adanya menuntut belas kasihan.
Contoh
Argumentum ad Misericordiam:
a. Terdakwa
yang meminta kepada hakim agar dibebaskan dari semua tuduhan karena dia punya
tanggungan keluarga.
b. Pencuri
motor yang menyampaikan di muka persidangan bahwa ia miskin dan tidak bisa
membeli makan untuk anak istrinya sementara ia baru saja dipecat.
Perlu diketahui pula, dalam bidang hukum,
argumentasi semacam ini lazim digunakan misalnya dalam Nota Pembelaan (Pledoi)
seorang terdakwa sebagaimana penulis contohkan di atas. Penggunaan argumentasi
demikian termasuk sebagai kesesatan karena tidak menggunakan prinsip logika.
Dalam logika kita mengenali hubungan kausalitas, bahwa suatu akibat adalah
konsekuensi dari suatu sebab. Seorang yang melakukan kesalahan atau tindak
pidana harus dihukum menurut ketentuan logika kausalitas. Argumentasi yang
condong kepada upaya untuk mengedepankan subjektifitas merupakan kesesatan
berpikir (dalam konteks kebenaran logis). Manusia memiliki akal dan hati
sebagai dua ‘pondasi hidup’. Keduanya memiliki kecenderungan kegunaan yang
berbeda. Akal dalam hal ini menuntun pada logika berpikir (rasionalitas),
sementara hati menuntun tentang nilai yang dapat dirasakan oleh manusia
(perasaan, empati, simpati, dan sebagainya).
Sehingga ketika terdapat penyimpangan
dimana seharusnya praktisi hukum melandaskan proses berpikir dengan logika,
namun justru fokus kepada wilayah rasa maka objektivitas dan kebenaran suatu
hal akan semakin bias dan jauh dari kebenaran logika. Karena kebenaran logika
hanya akan diperoleh ketika konklusi berangkat dari proses yang berdasarkan
data, fakta, dan proposisi hukum yang valid, baik berupa penalaran deduktif
(misalnya silogisme), ataupun dengan penalaran induktif (misalnya kausalitas).
5. Argumentum
ad Baculum
Menerima atau menolak suatu argumentasi
hanya karena suatu ancaman. Argumen ancaman dilakukan tidak lain dan tidak
bukan adalah untuk mendesak orang untuk menerima suatu konklusi tertentu dengan
alasan jika menolak, maka akan membawa akibat yang tidak diinginkan. Sikap yang
wajar, bahwa ketika seseorang dihadapkan pada kondisi mendesak dan menakutkan,
maka ia mau tidak mau akan memilih opsi yang dapat menyelamatkannya dari
kondisi tersebut.
Contoh
Argumentum ad Bacalum:
a. Seorang
mahasiswa yang belajar bukan karena ingin pintar, tapi karena mahasiswa itu
takut mendapatkan nilai jelek.
b. Pengendara
sepeda motor tersebut akan berhenti di lampu merah, apabila tidak berhenti di
lampu merah, akan ditilang oleh polisi lalu lintas.
c. Seorang
majikan mengancam akan memecat bawahannya kalau tidak menaati perintahnya.
Dari contoh di atas dapat diketahui, bahwa
terkadang seseorang melakukan suatu hal bukan karena “tujuan” dari hal tersebut
diciptakan, namun untuk tujuan lain yang dirasakan adalah suatu ancaman.
Semisal, pada contoh kedua: seorang pengendara motor berhenti di lampu merah
karena takut ditilang oleh polisi lalu lintas. Seharusnya, ia berhenti di lampu
merah karena sadar itu untuk keselamatan diri sendiri di jalan raya. Ini adalah
kesesatan penalaran.
6. Argumentum
ad Populum
Argumentasi ini sesat disebabkan oleh
adanya tujuan menggugah emosi massa. Pembuktian sesuatu secara logis tidaklah
diperlukan. Dalam argumen ini, yang diutamakan hanyalah suatu argumen yang disampaikan
dapat menggugah perasaan massa sehingga emosinya terbakar dan akhirnya akan
menerima sesuatu konklusi tertentu. Contoh
Argumentum ad Populum: Pidato politik yang sengaja membakar emosi massa, tanpa
menghiraukan kelogisan penalarannya. Dari contoh di atas, dapat penulis katakan
bahwa tidak jarang para aktivis mahasiswa melakukan kesesatan ini, ketika ia
melandaskan suatu argument atau orasi hanya kepada tatanan dialektika semata
tanpa mendasarkan pada logika. Karena tujuannya hanyalah menggugah emosi massa,
sehingga cenderung bersifat emosional.
Setiap argumentasi yang dibangun secara
emosional, maka akan berpotensi menyimpangi logika berpikir. Hal tersebut
terjadi karena, ketika kita emosi maka yang menguasai kita adalah amarah,
ketika amarah menguasai maka yang mengambil alih kendali apa yang kita kerjakan
masih dalam proses menyusun suatu keputusan (terburuburu), sehingga ketika
terburu-buru maka kita tidak bisa berpikir dan mengambil tindakan yang
seharusnya bisa lebih baik secara rasional. Oleh karena itu, lahirlah suatu
pepatah “amarah itu tak pernah tanpa alasan, tetapi jarang yang alasannya
benar.”
7. Petitio
Principi
Kesesatan yang terjadi dalam mengambil
kesimpulan atau pernyataan pembenaran dimana di dalamnya premis dipakai sebagai
kesimpulan dan sebaliknya, kesimpulan dijadikan premis. Sehingga meskipun
rumusan (teks/kalimat) yang digunakan sangat berbeda, sebenarnya maknanya sama.
Jenis kesesatan ini juga dikenal karena pernyataan berupa pengulangan prinsip
dengan prinsip. Contoh Petitio Prinsipi: Pimpinan : “Anda tahu kantor masuknya
jam 8, kenapa baru masuk jam 9?” Pegawai : “Ya karena saya telat, pak.”
Dari contoh di atas, apakah pertanyaan
pimpinan terjawab? Tentu tidak, hal tersebut terjadi karena sebenarnya pegawai
hanya mengulang maksud dari perkataan pimpinan dengan kalimat atau kata yang
berbeda, padahal maknanya sama. Hal demikian sering kita lakukan dalam
kehidupan sehari-hari. Hal mana dikategorikan sebagai kesesatan penalaran yang
disebut Petitio Principi.
8. Kesesatan
Ignorantio Elenchi
Kesesatan yang terjadi saat seseorang
menarik kesimpulan yang sebenarnya tidak memiliki relevansi dengan premisnya.
Loncatan dari premis ke kesimpulan semacam ini umum dilatarbelakangi prasangka,
emosi dan perasaan subyektif.
Contoh Kesesatan Ignorantio Elenchi:
Seorang wanita terlihat di lokalisasi pasti pelacur. Padahal faktanya, ia
hanyalah pedagang nasi bungkus. Kesesatan ini pun sering terjadi di sekitar
kita. Tidak sedikit orang yang langsung menarik kesimpulan terhadap apa yang ia
lihat, dengar dan rasakan, tanpa melakukan pengecekan keadaan yang sebenarnya.
Oleh karena itu, dalam bidang hukum, seorang hakim tidak bisa langsung
mengatakan bahwa suatu perbuatan itu melanggar hukum hanya karena mendengarkan
keterangan dari seorang terdakwa tanpa melihat bukti, keterangan saksi-saksi,
serta kebenaran yang lainnya.
9. Kesesatan
Non Causa Pro Causa
Kesesatan ini muncul jika seseorang
menganggap sesuatu sebagai sebab, padahal sebenarnya bukan sebab atau bukan
sebab yang lengkap. Orang selalu cenderung berkesimpulan bahwa peristiwa
pertama merupakan penyebab bagi peristiwa kedua, atau peristiwa kedua adalah
akibat dari peristiwa pertama. Padahal urutan waktu saja tidak dengan
sendirinya menunjukkan hubungan sebab-akibat. Kesesatan ini dikenal pula dengan
nama kesesatan “post-hoc ergo propter hoc” (sesudah maka karenanya).
Contoh Non Causa Pro Causa: Seorang pemuda
diketahui baru putus dengan pacarnya, esoknya sakit. Tetangganya menyimpulkan
bahwa pemuda tersebut sakit karena baru putus cinta. Padahal diagnosis dokter
adalah si pemuda terkena radang paru-paru karena kebiasaannya merokok tanpa
henti sejak sepuluh tahun yang lalu.
Dari
contoh di atas, kita dapat belajar bahwa tidak sulit sebenarnya membuktikan
kesalahan ini. Kita hanya perlu menunjukkan bahwa hubungan “setelah” tidak sama
dengan ”karena”. Hanya saja, banyak orang yang terjebak berpikir menggampangkan
seperti ini. Oleh karena itu kita lagi-lagi harus berhati-hati dalam
menyimpulkan suatu fenomena. Dalam realitas kehidupan sosial, manusia sering
terjebak dalam kesesatan berpikir seperti ini, terlebih dalam kehidupan
bersosial media saat ini. Warganet sering melakukan kesesatan Non Causa Pro
Causa dengan menghubung-hubungkan postingan status dari seorang selebritas,
yaitu mengaitkan postingan satu dengan postingan berikutnya, sehingga
menghasilkan persepsi-persepsi yang liar.
10. Kesesatan
Aksidensi
Kesesatan yang terjadi jika seseorang
menerapkan prinsip umum kepada peristiwa-peristiwa yang bersifat aksidental
(sewaktu-waktu). Ketika seseorang memaksakan aturan-aturan atau cara-cara yang
bersifat umum pada suatu keadaan atau situasi yang bersifat aksidental, yaitu
situasi yang bersifat kebetulan, tidak seharusnya ada atau tidak mutlak, maka
orang itu telah melakukan kesesatan aksidensi. Sehingga apabila sautu penalaran
sesat secara aksidensi maka yang terjadi adalah penerapan penalaran tersebut
tidak cocok atau bahkan salah.
Contoh
Kesesatan Aksidensi:
a. Gula
baik karena gula adalah sumber energi, maka gula juga baik untuk penderita diabetes.
b. Orang
yang makan banyak daging akan menjadi kuat dan sehat, karena itu vegetarian
juga seharusnya makan banyak daging supaya sehat.
11. Kesesatan
Karena Komposisi Dan Divisi
Kesesatan karena komposisi terjadi bila
seseorang berpijak pada anggapan bahwa apa yang benar (berlaku) bagi individu
atau beberapa individu dari suatu kelompok tertentu, pasti juga benar (berlaku)
bagi seluruh kelompok secara kolektif. Sehingga, apabila kita meyimpulkan bahwa
suatu pernyataan itu berlaku juga untuk kelompok kolektif secara keseluruhan,
maka penalaran kita sesat karena komposisi
Sedangkan, ketika kita menyimpulkan suatu
pernyataan berlaku untuk kelompok kolektif juga berlaku untuk setiap anggota
dari kelompok kolektif tersebut, maka kita sesat karena divisi.
Contoh
Kesesatan Karena Komposisi Dan Divisi:
a. Si
A anggota KPU sekaligus dosen di Universitas X melakukan korupsi, maka seluruh
anggota KPU yang juga dosen di Universitas X pasti koruptor.
b. Banyak anggota dewan yang melakukan korupsi.
Si C adalah anggota DPR, maka si C juga korupsi. Dari dua contoh di atas,
diketahui bahwa contoh pertama adalah kesesatan karena komposisi, sedangkan
contoh kedua adalah kesesatan karena divisi.
12. Kesesatan
Karena Pertanyaan yang Kompleks
Kesesatan ini bersumber pada pertanyaan
yang sering kali disusun sedemikian rupa sehingga sepintas tampak sebagai
pertanyaan yang sederhana, namun sebetulnya bersifat kompleks. Biasanya
kesesatan ini terjadi karena adanya kondisi-kondisi yang menekan lawan bicara,
sehingga seringkali jawabannya yang diberikan tidak bisa dijawab dengan
sederhana.
Kesesatan ini bersumber pada pertanyaan
atau perintah yang bukan merupakan pertanyaan yang tunggal. Oleh karena itu
pertanyaan tersebut sulit untuk dijawab dengan sekedar mengatakan ya atau tidak.
Contoh Kesesatan Karena Pertanyaan yang Kompleks: “Apakah kamu mengambil
majalahku?” Pertanyaan tersebut sulit dijawab hanya dengan ya dan tidak,
apalagi bila yang ditanya merasa tidak pernah mengambilnya. Kesesatan ini
sering dilakukan dalam bidang hukum berupa pertanyaan-pertanyaan yang sering
diajukan oleh penyidik kepada calon tersangka atau saksi. Hal ini dilakukan
karena mengajukan pertanyaan kompleks adalah salah satu cara untuk mendapatkan
jawaban terhadap suatu permasalahan secara jelas dan detail.
[1] Ainur Rahman Hidayat, Filsafat
Berfikir (Pamekasan: Duta Media Publishing, 2018), 130.
[2] Muhammad Adib, Filsafat Kristen:
Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dan Logika Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010), 178–179.
[3] Faisal Muttaqin, “‘Argumentasi Hukum
Perspektif Ilmu Hukum dan Hukum Islam,’” Jurnal Madania Vol. 2 No. 2
(2012): 150.
0 Komentar